Pengantar ; Ini memang bukan tulisan soal traveling, film atau musik. Ini soal curhat gue tahun 2008 saat harus operasi besar di rahang kiri bawah. Pernah gue muat di myspace.com sampai akhirnya sosmed itu hilang.
Gue muat lagi di sini, karena kemarin gue terima email dari seseorang yang baca ini di note facebook. Katanya ini informatif sekali dan dia sedang mengalami hal yang sama. Itu bukan satu email, ternyata banyak. Ada yang minta info soal amello blasstoma yang dialami istrinya, yang dialami adiknya, dan juga ada yang dialami teman dekatnya.
Lalu gue kepikiran juga, ternyata tulisan gue ini banyak yang nyari, sementara udah gak bisa dicari di-search engine google karena ada di note FB. So, gue upload di sini biar kembali bisa dicari di google. Siapa tau, bisa kembali menjadi info yang berguna untuk orang-orang yang mengalami hal yang sama dengan gue.
makasih :)
Me VS Amello Blasstoma
Setelah operasi. photo by Istriku |
To see you when I wake up
Is a gift I didn't think could be real.
To know that you feel the same as I do
Is a three-fold, Utopian dream.
(I Miss You- Incubus)
Lagu yang biasanya saya anggap romantis itu, belakangan ini justru membuat saya semakin ‘gloomy’ bila mendengarnya. Intro lagu yang didominasi alunan gitar tanpa distorsi itu, membangun mood kita untuk membayangkan kerinduan yang membuncah terhadap orang yang kita sayangi.
Lagu milik Incubus, band asal Los Angles AS ini, memang merupakan salah satu lagu yang selalu berada di playlist winamp computer saya. Sayang, saya gak sempat nonton langsung saat mereka manggung di Jakarta, Maret 2008 lalu.
Tapi sebetulnya saya tidak akan membicarakan Incubus. Walau lagu ini memang tanpa absent tengah menemani saya di Rumah Sakit Angkatan Laut (RSAL) Dr Mintohardjo, di bilangan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. Saya memang tengah menunggu operasi pengangkatan rahang kiri-bawah saya yang keropos digerogoti tumor.
Menurut Wikipedia.org, tumor (berasal dari tumere bahasa Latin, yang berarti "bengkak"), merupakan salah satu dari lima karakteristik inflamasi. Namun, istilah ini sekarang digunakan untuk menggambarkan pertumbuhan jaringan biologis yang tidak normal. Pertumbuhannya dapat diogolongkan sebagai ganas ("malignant") atau jinak ("benign").
Ya, tanggal 27 Oktober 2008, saya dijadwalkan untuk operasi besar pengangkatan jaringan tumor sebesar 10 cm yang telah bersarang di rahang kiri-bawah saya, selama hampir sepuluh tahun. Jadwal yang sebetulnya ‘molor’ dari sebelumnya yang diperkirakan tanggal 7 Oktober, atau beberapa hari sesudah lebaran.
Kemunduran jadwal operasi itu memang sangat-sangat beralasan. Pusat alasannya adalah memang semata-mata kesiapan mental saya. Pertengahan puasa kemarin, saya akhirnya memang menyerah, setelah keluarga besar dan istri saya sudah semakin cerewet untuk memeriksa rahang saya yang mereka curigai makin membesar.
Dokter sebuah rumah sakit swasta di Depok, memang memvonis rahang saya sudah rusak karena Ameloblastoma, atau tumor rahang. “Ini saya rujuk ke RSCM atau RSPAD, di sini gak ada alatnya untuk mengobati rahang anda. Sudah besar begini, kenapa tidak dari dulu,” kata dokter tersebut.
What! Jantung saya hampir copot juga. Its realy that serious? Saya memang pernah dioperasi pada tahun 2000 di RS Fatmawati, untuk mengangkat kista yang tumbuh di ujung rahang kiri-bawah. Setelah dioperasi, saya memang ‘memahami’ kondisi rahang kiri saya yang lebih besar, sebagai akibat bekas operasi. Tetapi ternyata, lama-kelamaan wajah saya makin asimetris. Rupanya, tumor tumbuh lagi karena saya tidak melakukan pemeriksaan rutin paska-operasi.
Di rumah sakit rujukan pertama, mental saya makin ambrol saja. Bukannya karena meragukan kehebatan dokter-dokternya, tapi saya merasakan kekurangan atmosfer ‘hospitality’ di situ. Dari hal yang paling tidak berhubungan dengan kesehatan saja, saya sudah enggan untuk kembali ke situ. Mendapat tempat parkir saja, susahnya minta ampun.
Maka, setelah tanya sana-sini, saya diperkenalkan oleh tante saya dengan seorang dokter gigi yang bertugas di Lembaga Kedokteran Gigi (Labdokgi) R E Martadinata, milik TNI Angkatan Laut. Dari perkenalan pertama, saya sudah merasa yakin akan berada di tangan dokter terbaik.
Kenapa? Karena saya melihat passion yang begitu kuat dari dokter-dokter di Labdokgi, untuk menyembuhkan saya. Saya, sudah tidak diperlakukan sekedar pasien saja, melainkan saudara. Memang agak berlebihan, tetapi begitu yang saya alami.
Maka, tim dokter yang terdiri dari lintas spesialis ilmu, dibentuk untuk ‘mengurus’ saya. Ketua tim-nya adalah dokter senior yang juga bertugas di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, drg Karnalis AB. Asistennya adalah drg Ekasari SpBM dari Labdokgi. juga ada drg Theresia SpBMyang selalu dikelilingi oleh mahasiswa-mahasiswanya.
Ada juga dokter muda yang ramah yang selalu berpakaian TNI Angkatan Laut, drg Heri. Dari awal, treatment para dokter ini sangat-sangat mengangkat mental saya kembali. Secara kebapakan, dr Karnalis mengatakan bahwa dia curiga, tumor yang tumbuh di rahang saya, sudah bermutasi jadi ganas.
“Maka yang kita lakukan pertama kali adalah life safer dulu sifatnya. Artinya, tumor yang dicurigai ganas itu, diangkat terlebih dahulu dengan operasi, lalu kemudian dilakukan kemoterapi dan penyinaran. Setelah itu, bisa dilakukan pemulihan secara estetik pada wajah anda, dengan penanaman rahang buatan,” jelasnya.
Drg Ekasari, walau lebih tegas, tetap saja sikapnya membuat saya tenang. “Penyakit anda itu serius. Makanya, kita harus bekerja sama agar penyakit itu bisa diangkat. Anda kan jurnalis, maka saya fair saja, kalau dibiarkan, penyakit anda akan semakin membahayakan. Mari kita hadapi ini bersama-sama,” ujarnya dengan kecerewetan seorang ibu yang menyayangi anaknya.
Sementara drg Heri, telah menjelma menjadi kakak saya yang selalu menemani masa sulit saya. Selama persiapan biopsy, dia yang menjadi teman saya bicara dalam kegugupan puncak. Empati mereka menjadikan semangat saya untuk sembuh terus kian menguat. Artinya, saya sudah siap mental untuk menjalani operasi, pagi ini. (bila tulisan ini dimuat Senin 27 Oktober 2008. heheheh).
Mahal
Pengalaman saya selama tiga minggu mengurus hal pra-operasi, menyadarkan saya pada banyak hal. Namun semuanya bermuara pada kenyataan betapa mahalnya harga sebuah kesehatan. Mahal benar-benar dalam terminology financial. Sebelum operasi saja, saya harus melakukan banyak hal, mulai dari general check up, CT Scan 3D, biopsy dan lain sebagainya.
Belum lagi dengan harga artificial jaws (rahang buatan) yang akan di-implant pada rahang saya, yang mencapai angka ribuan dollar AS itu, karena memang diimport langsung dari negara pembuatnya, Jerman. Dari situ saja, saya dan keluarga besar sudah harus merogoh kantong agak dalam.
Saya bukannya hendak mengeluhkan soal biaya yang besar itu, melainkan pada apa yang saya alami ini, adalah juga dialami oleh orang-orang yang mungkin tidak seberuntung saya secara ekonomi.
Walau keluarga saya bukan termasuk kaya raya, tapi Alhamdulillah, bisa mengusahakan. Belum lagi saya mendapat bantuan dari sejumlah orang yang peduli dan sayang sama saya. Bantuannya bisa bisa berupa uang dan juga SMS berisi support, atau yang memberikan referensi-referensi tentang penyakit saya. Dan kantor yang begitu membantu saya dalam beberapa hal, semisal memaklumi penurunan kinerja saya belakangan ini.
Intinya, saya tidak bisa membayangkan, bagaimana nasib saudara kita yang tidak mampu, bisa melewati hal ini. Ini memang bukan persoalan mudah, dengan menyalahkan pihak rumah sakit yang mematok harga terlalu mahal, sehingga menghambat akses masyarakat kecil.
Ternyata, tidak semudah itu.
Biaya yang timbul, memang tinggi mengingat ‘keistimewaan’ penyakitnya dan kemudian cara perawatannya. CT Scan 3D, bisa dilakukan di rumah sakit swasta yang mewah-mewah. Hasil foto-nya, sangat-sangat akurat memperlihatkan ‘dalaman’ tubuh kita. Jelas ini akan sangat membantu dokter dalam operasi. Alatnya jelas sangat high-tech, dan tentu saja, untuk menggunakannya, mahal. Itu baru satu contoh kecil.
Titanium
Implant rahang buatan pada manusia, sebetulnya telah lama dilakukan. Tercatat dalam sejarah kedokteran, pionir-pionir yang terus bereksperimen mencari formula terbaik bagi orang-orang yang terpaksa harus kehilangan rahangnya.
Sebut saja, operasi cangkok rahang yang dilakukan oleh Dr Patrick Warnke, ahli rekonstruksi wajah dari University of Kiel, Jerman, sekitar media 90-an. Dokter ini berhasil meng-implant tulang buatan dari plastik kepada pasiennya yang pertama kali.
Belakangan, teknologi untuk hal ini terus semakin maju, dan akhirnya yang paling mutakhir adalah rahang buatan (artificial jaws) yang terbuat dari titanium.
Di Indonesia, seperti dilansir Gatra, Juni 2002, tim dokter dari RSUD Dr. Sarjito, Yogyakarta,yang dipimpin drg. Muhammad Masykur Rahmat, SpBm, berhasil menanam rahang titanium itu kepada seorang petani asal Cilacap bernama Satiman.
Pada artikel itu juga disebutkan, bahwa sudah lima orang di tanah air yang berahang titanium. Sebelum ada teknologi ini, penggantian rahang biasanya memang menggunakan kawat baja, atau implant dari tulang lain di dalam tubuh pasien.
Tetapi hingga sekarang, harga rahang titanium itu tetap mahal, mengingat logam itu adalah yang paling bisa diterima oleh tubuh kita. Biaya yang mahal, memang tidak menjadi soal bagi Satiman, karena dia dibantu oleh sebuah yayasan sosial.
Pada tahun 2003, FK universitas Airlangga Surabaya, melansir penemuan plat baru pengganti rahang yang harganya jauh lebih murah. Penemunya adalah drg Aan Haryono SpBM dan Prof drg Coen Pramono SpBM.
"Ada 17 sampai 20 pasien baru dan tiap tahun selalu ada peningkatan. Kendalanya saat ini, harga per plat sangat mahal karena produk impor. Dari situ, saya terpikir membuat plat yang bisa digunakan penderita ameloblastoma yang sudah menjalani operasi pemotongan rahang," katanya seperti dilansir Kompas.
Plat rekonstruksi buatan Coen tersebut terbuat dari logam stainless steel tipe 316L. Ketebalan plat 3 mm dan panjangnya 35 cm. Bentuknya bisa sesuai keinginan pasien. Bahan tersebut telah diuji di Laboratorium Metalurgi, Jurusan Teknik Mesin ITS. Plat bisa bertahan sampai bertahun-tahun, juga bisa sampai seumur hidup,kata Coen.